Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

Paul Kagame: Obama Afrika, Gooner Sejati

Pada 1994 planet ini dihebohkan dua peristiwa besar yang sangat bertentangan. Piala Dunia di AS dan Perang Saudara di Rwanda. Meski sama-sama menyita perhatian umat manusia sejagat, namun lakon di negara Afrika yang amat tidak populer untuk bicara apa saja, termasuk membahas sepak bola itu, telah membuat merinding bulu kuduk orang.
Paul Kagame: Obama Afrika, Gooner Sejati
Ditabalkan sebagai Gooner sejati oleh Tony Adams si Mister Arsenal.
Bila kita melihat sekilas kejadiannya, katakanlah di Youtube, bisa jadi mata Anda langsung melotot plus jantung berdetak keras saking ngerinya. Inilah yang dikenang dunia dengan "The Rwandan Genocide." Pada perang antar-etnis itu, 800 ribu sampai sejuta orang suku Tutsi dibantai barisan milisi suku Hutu, hanya dalam selang waktu 100 hari. Bayangkan, sejuta orang! 

Ya, nama Rwanda - negara Afrika yang sulit dikenal - tiba-tiba membubung ke jagat raya pemberitaan. Kejadian ini adalah titik kulminasi perseteruan kedua suku yang mencuat sejak Rwanda merdeka pada 1 Juli 1962. Tragedi Rwanda dipicu oleh tewasnya Presiden Juvenal Habyarimana, seorang Hutu, akibat pesawat terbang yang ditumpanginya bersama Presiden Burundi Cyprien Ntaryamira, diroket kelompok oposisi Tutsi dan jatuh berantakan di Bandara Kigali, 6 April 1994.

Hingga milenium baru, Rwanda masih terkesan menakutkan. Peradaban mereka seolah-olah mundur seabad dengan puncaknya pembunuhan pimpinan sendiri bahkan kepala negara tetangga. Beruntung negara berpopulasi hampir 12 juta jiwa ini punya sosok signifikan yang satu ini: Paul Kagame. Siapakah orang ini? Lalu dengan apa dia bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah?

Jawabannya sangat simpel, sama sekali bukan klise. Sepak bola! Ah, bukannya pemimpin di Afrika hampir semuanya begitu? Iya, tapi bedanya Kagame enggan berstatus oportunistis atau sekedar pragmatis untuk memanfaatkan sepak bola. Pria bersuku Tutsi itu melakoninya langsung. Seantero negeri sudah terkenal bahwa Kagame adalah penggila sepak bola, tenis, dan Arsenal!

Putra kebanggaan Deogretius dan Asteria Rutagambwa ini bukan asal cuap di belakang layar, tapi juga tampil dengan rakyat. Kapan waktu dia jadi "sosialis" saat ikutan tarkam di desa terpelosok yang kebanyakan masih nyeker main bolanya. Di saat lain dia tampil ala kapitalis di turnamen tenis dengan kostum keren. Tenis? Orang Afrika kok suka tenis?

Ya, kecintaan pada olah raga borjuis itu mekar bersemi sewaktu dia menjalani kursus komando di Fort Leavenworth, Kansas, AS, pada 1986-90. Tapi seperti kebanyakan setiap pria Afrika, di mana DNA sepak bola adalah sebuah kemutlakan, Kagame juga menggilai sokker, sebuah permainan yang secara filsafat Afrika dianggap menjadi alasan mereka memiliki kaki.

Sejak 2003, dia dipercaya memerintah negara seluas Bengkulu tapi berpopulasi mirip DKI Jakarta. Suami Jeannett Nyiramongi ini memahami kemiripan sepak bola dan politik: sama-sama punya basis massa. "Cara paling efektif menggalang kekuatan besar adalah dengan memobilisasi sentimen rakyat," katanya mengulangi ucapan Nelson Mandela.

Sumbangsih Kagame di sepak bola oke punya. Ia berjasa merajut persatuan Rwanda atau unifikasi Afrika melalui Cecafa Cup, kejuaraan resmi antar negara di tengah dan timur Afrika yang bahkan lebih tua dari Piala Afrika. Peserta tradisionalnya adalah Uganda, Kenya, Malawi, Burundi, Rwanda, Zanzibar, Zimbabwe, Ethiopia, Sudan, Eritrea dan Somalia.

Ucapan Wenger

Saat turnamen tahunan sejak 1926 itu terancam urung digelar akibat ketiadaan sponsor, sebisa mungkin dia ikut bernegosiasi untuk menyelamatkannya. Kecuali pada 2009, yang sama sekali harus 'dilepas' sebab dia mesti fokus mengantisipasinya. Apa itu? Pemilihan presiden AS. Kenapa Kagame berkepentingan? Sebab salah satu kandidat presiden itu adalah teman dekatnya.

Ketika di November 2009, Barrack Hussein Obama II resmi terpilih menjadi presiden AS ke-44 tentu dia senang. Persahabatan dengan orang nomor satu AS kian berarti, sebab Kagame mengenal Obama sejak masih menjadi senator. Lebih dari itu, bukan melulu pentas politik yang menjadikan dua tokoh muda ini akrab, akan tetapi juga olah raga, sepak bola, dan soal London.

Kagame memakai popularitas Obama untuk menaikkan pamor Rwanda. Obama mendekati Kagame untuk menaikkan pamor Afrika-nya. Mereka sesama putra Afrika yang pintar, ambisius, dan bervisi jelas. Obama berdarah Kenya, lahir di Hawaii besar di Indonesia. Kagame lahir di Rwanda, dan besar di Uganda. Keduanya punya ikatan batin sebab Kenya dan Rwanda bertetangga.

Mereka menggilai olah raga 'berjiwa' Afrika seperti sepak bola dan bola basket sekaligus membenci olah raga khas kulit putih, golf atau layar. Bicara soal London, hebohnya Obama dan Kagame punya klub yang berbeda. Jika Obama menjadi Cockney Boys, suporter baik-baik West Ham United, maka Kagame adalah Gooner bertipe die-hard, penggemar fanatik Arsenal.

Paul Kagame: Obama Afrika, Gooner SejatiSecara periodik, Kagame ada dalam barisan pesohor seperti Usamah Bin Ladin, pemimpin Kuba Fidel Castro, PM Cina Zhou Enlai, PM Swedia Olof Palme, Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, Presiden Polandia Aleksander Kwasniewski, Ratu Inggris Elizabeth II, Raja Norwegia Olav V, Raja Tonga Taufa'ahau Tupou IV atau Gubernur Hong Kong terakhir Lord Chris Patten. Tidak seperti yang lain, kegilaan Kagame dengan Arsenal pernah dibayar tuntas oleh klub London tersebut. Tatkala merayakan HUT-nya ke-50, 23 Oktober 2007, setelah makan malam, Menteri Pemuda, Kebudayaan dan Olah Raga Rwanda Joseph Habineza tiba-tiba memberi kejutan super kepada bosnya. Kagame dapat bingkisan dan ucapan khusus dari manajer Arsenal Arsene Wenger!

"Saya yakin kabar ini akan mengejutkan tuan presiden," kata Habineza sambil membuka perlahan-lahan sebuah kado unik. Saat muncul tulisan "A Birthday present and letter from Arsenal FC Manager Arsene Wenger", wajah Kagame tampak mulai berbinar-binar. Dalam sekejap, Kagame melupakan tumpukan aneka cinderamata lainnya yang dikirim ke istana.

Saat dibuka, kado itu ternyata sebuah bendera besar Arsenal berisi tandatangan Thierry Henry dkk. dan Wenger. Habineza membacakan ucapan yang sangat berarti. "Saya merasa amat bangga saat mengetahui kepala negara adalah orang yang dengan senang hati dan selalu bergairah memperhatikan Arsenal. Selamat ulang tahun, tuan presiden! Hormat saya, Arsene Wenger.”

Seluruh Rwanda tahu Kagame adalah presiden penggila bola dan pengemar fanatik Arsenal. Jangan lagi Premier League, di laga domestik saja ia sering hadir yang membuat protokolernya kelabakan dan ketakutan. Diperlukan sebuah pemahaman melihat Kagame sering bertindak demikian. Sampai kapanpun, tampaknya dia selalu membutuhkan sepak bola.

Militerisasi Sepak Bola

Paul Kagame: Obama Afrika, Gooner SejatiJulukannya adalah Obama-nya Afrika. Paul Kagame, pria Tutsi tulen kelahiran Ruhango, 23 Oktober 1957, adalah seorang militer karier. Sebagai ahli strategi ia biasa dengan bagaimana cara memenangi laga, juga memakai semua potensi dan kemampuan. Lebih dari sekedar 'dar-der-dor' atau lempar granat. Cita-citanya setinggi langit.

Ketika lahir negerinya sedang dijajah Belgia. Konflik tribal merajalela. Raja Kigeli V Ndahindurwa kehilangan wibawa karena terhasut bujukan militer kolonial yang tak suka dengan suku Hutu. Pada 1960, Kagame kecil diusir ke Uganda bersama kedua orang tuanya serta ribuan pengungsi Tutsi lainnya. Selama 30 tahun, dia menetap di negerinya Idi Amin itu.

Baru di Oktober 1990 Kagame kembali ke Rwanda. Pengalaman hidupnya mengatakan, kekerasan jangan dilawan dengan kekerasan. Dia muak dengan segala hal berbau mesiu. Sejak bocah, Kagame akrab dengan pelatuk senjata atau granat. Wawasannya kian kaya lantaran bergaul dengan peradaban Amerika. Sejalan dengan kematangan usianya, dia mengubah strateginya.

Menjelang pilpres 2003, momentum lolosnya Rwanda pertama kali ke Piala Afrika 2004 mengatrol pesona Kagame di mata rakyat. Saat itu Kagame masih berstatus presiden transisional sampai digelarnya pilpres. Posisi Kagame naik sejak 23 Maret 2000, dari wakil presiden menjadi presiden tanpa pilpres menggusur Presiden Pasteur Bizimungu yang didemosi akibat skandal.

Bizimungu, seorang Hutu, dimakzulkan saat pengadilan menemukan bukti dialah dalang pembunuhan Presiden Habyarimana! Vonis ini sekaligus mengubur fitnah kepada Kagame sebagai tersangka. Tak mau terjadi pembalasan dendam suku Tutsi pada Hutu, pria berkaca mata bundar ini punya kiat cespleng menghindarinya: menebar persatuan Rwanda dari dalam stadion!

Dengan naluri militernya yang kuat, Kagame memainkan lakon terbaik football and leader. Dia meminta seluruh penonton dan anggota tim nasional asuhan Ratomir Dujkovic mendengarkan pidatonya. Di depan puluhan ribu orang, jutaan melalui televisi dan radio, Kagame berorasi hebat dan tak terlupakan yang maknanya: dari sepak bola, oleh sepak bola, untuk bangsaku.

Warga Tutsi dan Hutu pun larut dalam histeria persatuan, perdamaian dan kemenangan. Orasi Kagame mengilhami tim nasional Rwanda di Pra Piala Afrika 2004. Gol emas Jimmy Gatete ke gawang Ghana meloloskan Rwanda ke putaran final di Tunisia. Suasana di stadion Amahahoro, 7 Juli 2003, dikenang sebagai kemenangan terbaik Kagame di lapangan hijau.

Peduli Arsenal
Paul Kagame: Obama Afrika, Gooner SejatiOnce Gooner, Die as Gooner. Cintanya pada Arsenal tak pernah lekang dimakan waktu. Bahkan semakin mendalam dan proaktif. Di sela-sela memimpin Rwanda, tak sekali pun dia melewatkan laga-laga The Reds of London sampai saat ini. Kejadian enam tahun silam di istananya merupakan puncak ikatan batinnya dengan Arsenal dan Arsene Wenger.

Namun tiada yang berubah kecuali perubahan itu sendiri. Sama seperti kebanyakan yang dirasakan kaum Gooner, di mana batas kesabaran dan kecintaan setipis kulit ari, belum lama ini suasana hati dan tensi Kagame ikut membludak apapun yang terjadi dengan Arsenal.

Ketika The Gunners mengalahkan Napoli 2-0 di matchday 2 Liga Champion, September silam, sang Presiden Rwanda ini pun langsung berkicau via smartphone-nya di akun twitter-nya, @PaulKagame. Apa yang ditulis Kagame di akun twitternya? Dia mengungkapkan perasaan suka citanya, sekaligus permintaan maafnya! "Enjoyed watching game at emirates-congratulations #AWenger & Arsenal-back to winning ways of old & beautiful game!" 

Rupanya gol indah Mesut Oezil dan Olivier Giroud telah mendongkrak kembali adrenalinnya dan teringat kebaikan Wenger. Uniknya, tweet dia kali ini berkebalikan dengan yang terakhir ditulisnya pada Januari 2012. "I very much support Arsenal - but to be honest Wenger needs to coach another team now and Arsenal needs another coach!" 

Lalu juga kicauan yang seperti ini: "I am a loyal and patient fan but I am not sure about others!!! I would not blame them at all if they were different," tulisnya setelah Arsenal dikalahkan Manchester United 2-1. Seperti mayoritas Gooner pada umunya, rupanya Kagame pun sering tertipu oleh "kesaktian" Arsene Wenger.

(foto: touchrwanda/twitter/ruhagoyacu)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini